RENCANA PELAJARAN 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran, kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
KURIKULUM 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
KURIKULUM 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu, kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
KURIKULUM 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta ”sekarang Universitas Negeri Jakarta” periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses, kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
KURIKULUM 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id). Secara Juridis, Kurikulum 2004 sebenarnya belum pernah disyahkan sebagai Kurikulum oleh Menteri Pendidikan Nasional.
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Hal ini ditandai dengan diluncurkunnya Permendiknas RI Nomor 22 tentang Standar Isi, Permendiknas RI Nomor 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Pemendiknas RI Nomor 24 Tentang Pelaksanaan Kedua Permen dan disempurnakan dengan Permendiknas RI Nomor 6 Tahun 2007. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan Kompetensi Dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Permendiknas di atas.. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
KTSP stelah 3 tahun digulirkan, secara substansi kurikulum ini memberi eluang seluas-luasnya kepada Satuan Pendidikan dan guru untuk merencanakan kurikulum yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik peserta didik di mana sekolah itu berada. Mari kita kawal KTSP ini untuk menjadikan Pendidikan di Indonesia sejajar dengan Pendidikan di negara-negara maju. Semoga.
alam
sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka, ada sepuluh
kurikulum yang pernah dipakai yaitu kurikulum pasca kemerdekaan 1947, 1949,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK yang disempurnakan menjadi
kurikulum KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pada setiap periode
kurikulum yang pernah diberlakukan tersebut model konsep kurikulum yang
digunakan, prinsip dan kebijakan pengembangan yang digunakan, serta jumlah
jenis mata pelajaran berikut kedalaman dan keluasannya tidak sama.
Variabilitas
kurikulum yang digunakan berimplikasi terhadap variabilitas penuangan mata
pelajaran yang harus dipelajari. Secara umum bisa dijelaskan karena adanya
substansi determinan atau landasan kurikulum yang digunakan tidak sama.
Meskipun unsur-unsur umum determinan kurikulum itu sama yaitu faktor filosofis,
sosiologis, psikologis, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun pada setiap
masa memiliki suatu kecederungan tersendiri yang menjadi warna dominan dari
kurikulum itu sendiri, sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan. Perbedaan ini
juga turut menentukan mata pelajaran apa saja yang harus dipelajari, juga prinsip-prinsip
cara mempelajari mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum yang
bersangkutan.
Landasan
filosofis, berkaitan dengan pandangan hidup negara. Filosofis negara ini akan
mengarahkan pada penentuan tujuan umum pendidikan nasional. Perbedaan filosofis
negara, atau adanya perbedaan konsistensi pengamalan nilai-nilai filosifis akan
mempengaruhi filsafat pendidikian dan filsafat kurikulum yang digunakan. Tentu
ini pun akan mengarah pada susunan mata pelajaran yang harus dipelajari.
Landasan
sosiologis, berkaitan dengan sistem nilai, norma, adat isitiadat, tata aturan
bermasyarakat dan bernegara juga berpengaruh terhadap penggunaan sistem
kurikulum. Dalam aspek sosiologis di dalamnya adalah sistem politik yang
berlaku, ikut menentukan tentang apa yang harus dipelajari, kedalaman dan
keluasannya, serta teknis pengembangannya.
Contoh
ketika sistem politik negara menggunakan sistem sentralistik, maka pengembangan
kurikulum didominasi oleh pemerintah pusat, kurang atau bahkan mungkin tidak
melibatkan pemerintah daerah atau guru sama sekali. Namun ketika sistem politik
berubah menjadi desetralisasi, kebijakan pengembangan kurikulum pun berubah,
yang tadinya terpusat sebagian didesentralisasikan ke daerah (pemerintah daerah
dan sekolah, guru).
Contoh
lainnya, terdapat perbedaan kurikulum, jenis dan jumlah mata pelajaran antara
negara yang demokratis dan negara yang tidak terlalu menonjolkan demokratis.
Bahkan sesama negara demokratis pun masih terdapat variabilitas.
Determinan
berikutnya yaitu unsur psikologis. Situasi kondisi sasaran kurikulum ikut
mempengaruhi konsep dan model kurikulum. Akan terdapat perbedaan mata
pelajaran, setidaknya tingkat kesulitan dan cakupannya, antara jenjang
pendidikan satu dengan lainnya. Antara pendidikan normal dan pendidikan luar
biasa.
Selain
dari pada itu, pandangan psikologi atas bagaimana manusia belajar
bermacam-macam, di antaranya ada behavioristik, kognitivistik, dan
konstruktivistik. Ketiga jenis pandangan tersebut berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Penggunaan salah satu dari tiga pandangan atas belajar di atas,
akan berpengaruh terhadap apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara
mempelajarinya.
Determinan
terakhir yaitu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk di dalamnya ilmu
pengetahuan dan teknologi kurikulumnya itu sendiri. Kemajuan IPTEK akan
melahirkan tuntutan untuk mempelajari IPTEK kontemporer. IPTEK kontemporer
memiliki karakteristik tersendiri tentang bagaimana cara untuk mempelajarinya.
Uraian
di atas, menjelaskan kepada kita bahwa perkembangan mata pelajaran
dipengaruhi oleh model konsep kurikulum yang digunakan. Suatu jenis model
kurikulum itu sendiri memiliki karakteristik disain (tujuan, materi, strategi,
dan evaluasi) tersendiri.
Di
bawah ini tabel perbandingan jurusan dan mata pelajaran yang hilang dan muncul
pada kurikulum kurikulum 1964 sampai dengan KTSP.
Tabel
1 Perbandingan Jurusan dan Mata Pelajaranyang Hilang dan Muncul pada
Kurikulum 1964 sampai dengan KTSP (Belen, 2007)
No.
|
Kurikulum
|
Jurusan
yang hilang
|
Jurusan
yang muncul
|
Mapel
yang hilang
|
Mapel
yang muncul
|
1
|
1964
|
|
Jurusan Budaya SMA
|
|
Prakarya
|
2
|
1968
|
|
|
Berhitung
|
Matematika
Pendidikan Kesehatan Keluarga Kecakapan Khusus |
3
|
1975
|
Jurusan Budaya SMA
|
SMA: Jurusan IPA, IPS, Bahasa.
Jurusan Budaya menjadi jurusan bahasa
|
Bahasa Indonesia
Tulisan Arab Bahasa Jawa Kuno |
Muncul Broadfield: Matematika, IPA, IPS Bahasa Indonesia, Civics menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
|
4
|
1984
|
|
SMA: Program B (Vokasional) tak
dilaksanakan. Jurusan IPS dan Bahasa tetap.
Jurusan IPA di bagi dua: Jurusan ilmu-ilmu fisik dan jurusan ilmu-ilmu hayati. Jurusan Agama untuk Madrasah Aliyah. |
Tata Buku. Pendidikan Keterampilan
dan Pendidikan Seni tergabung menjadi Pendidikan Kertakes.
Pada Pendidikan Bahasa Indonesia dikenalkan Pragmatic. |
Akuntansi, Sosiologi, Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Tata Negara, Muatan Lokal, Keterampilan,
Budaya.
|
5
|
1994
|
Program B SMA, Jurusan Ilmu-ilmu
Fisik dan Ilmu-ilmu Hayati digabung ke jurusan IPA.
|
Penjurusan di kelas 3 SMA: IPA,
IPS, Bahasa.
|
Tata buku, Pendidikan Keterampilan
dan Pendidikan Seni tergabung menjadi kertakes.
Pada Pendidikan Bahasa Indonesia dikenalkan Pragmatic |
PMP menjadi PPKn. B. Indonesia dan
B. Inggris menggunakan communicative
approach. Muncul bahasa Jepang dan
Mandarin.
Muatan Lokal di SD dan SMP. |
6
|
KBK
|
Jurusan Agama SMA
|
Penjurusan kembali ke kelas 2 SMA.
Tematik untuk kelas I dan II SD. |
PPKn menjadi PKn. Di SMA
Antropologi digabungkan ke Sosiologi. Diberi jam untuk pembiasaan di SD dan
SMP. Muatal lokal tak ditangani.
|
Bahasa Inggris SD dan Komputer SD
menjadi pilihan. ICT di SMA. Konsep Kimia dimasukkan ke IPA. Konsep Sosiologi
dimasukkan ke IPS. Pembiasaan di SD dan SMP.
|
7
|
KTSP
|
|
Tematik kelas I-III SD.
|
|
Antropologi terpisah dari
Sosiologi di SMA. IPA dan IPS terpadu di SMP. Muatan Lokal dihidupkan lagi
bahkan sampai SMA. Pengembangan Diri (Pembiasaan) bahkan sampai SMA.
|
Tujuan dan Mata Pelajaran dalam KTSP
Tujuan
pendidikan dalam KTSP menggunakan istilah kompetensi. Ada
kompetensi lulusan, kompetensi rumpun mata pelajaran, kompetensi mata
pelajaran, standar kompetensi, dan kompetensi dasar. Telah dijelaskan secara
singkat di muka, bahwa untuk kompetensi lulusan dan kompetensi rumpun mata
pelajaran akan dicapai oleh sejumlah mata pelajaran. Sedangkan untuk kompetensi mata pelajaran dicapai setelah
dicapainya sejumlah kompetensi dasar.
Untuk
mencapai kompetensi dasar, setiap kompetensi dasar yang ada dalam mata
pelajaran harus diterjemahkan oleh guru di sekolah ke dalam bentuk indikator
hasil belajar. Indikator hasil belajar ini merupakan gambaran tentang kemampuan-kemampauan yang
lebih kecil, yang akumulasinya membentuk kompetensi dasar. Dengan kata lain
indikator hasil belajar ini merupakan tujuan jarak dekat, yang akan dicapai
oleh satu kali proses pembelajaran. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
indikator hasil belajar itu analog dengan tujuan pembelajaran khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar